Pemilihan Umum (Pemilu) Serentak 2024 telah berjalan dengan aman, lancar, damai. Calon presiden, calon wakil presiden, dan calon anggota legislatif telah mengetahui hasilnya dari pemungutan, penghitungan, dan rekapitulasi suara.
Bahkan, untuk calon presiden dan calon wakil presiden yang memenangkan kontestasi telah diketahui publik beberapa jam setelah pencoblosan versi quick count lembaga survey. Demikian juga dengan calon anggota legislatif dan dewan perwakilan daerah (DPD).
Calon anggota legislatif dan DPD sebagian telah mendeklarasikan kemenangan, karena berdasarkan saksi yang disebar dan merujuk data C 1 yang diterima dari tempat pemungutan suara (TPS), suara mereka tidak akan terkejar lagi oleh calon lain.
Di tengah keriuhan Pemilu 2024, banyak catatan menarik yang perlu menjadi perhatian pemerintah, penyelenggara pemilu, dan masyarakat luas. Pertama, Pemilu Serentak 2024 tidak lepas dari maraknya praktik money politik atau politik uang.
Bahkan, tingkat pragmatisme masyarakat cukup tinggi. Sehingga penulis menilai, politik uang di tahun 2024 cukup ‘gila’. Karena segalanya diukur dengan uang dan tanpa uang, pemilih tidak akan memilih calon yang telah berjasa sekalipun terhadap dirinya.
Kondisi tersebut tidak lepas dari rendahnya pendidikan politik dari partai politik, penyelenggara pemilu, dan pemerintah terhadap masyarakat. Akibatnya, politik uang tumbuh subur dan menjadi budaya di tengah-tengah masyarakat. Faktor lain yang diduga mempengaruhi budaya politik uang di masyarakat, yakni rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap anggota Dewan.
Dewan terpilih atau yang telah duduk di DPRD kabupaten, provinsi, dan DPR RI tidak sungguh-sungguh dalam memperjuangkan aspirasi masyarakat. Akibatnya, masyarakat memilih memanfaatkan momentum pemilu untuk meraup keuntungan dari para calon anggota Dewan.
Tidak hanya itu, money politik juga dipengaruhi tingkat ekonomi masyarakat. Kondisi ekonomi yang sulit pasca-badai Covid-19 ikut berdampak dan mempengaruhi prilaku masyarakat dalam menentukan pilihan. Untuk itu, muncul di tengah-tengah masyarakat istilah, siapapun yang memberi uang maka akan dipilih saat di TPS.
Selain politik uang, integritas oknum penyelenggara pemilu juga mendapat sorotan. Bahkan, ada informasi penyelenggara pemilu ikut menjadi pemain dalam menyukseskan salah satu pasangan calon presiden atau calon anggota legislatif. Misalnya, penyelenggara pemilu yang menjadi tim sukses dan menyebarkan uang caleg kepada masyarakat.
Bahkan, kasus dugaan penggelembungan suara di Kecamatan Gunungkencana menjadi salah satu yang terungkap ke publik. Kasus dugaan kecurangan atau pidana pemilu tersebut terungkap setelah salah seorang caleg mengamuk di rapat pleno rekapitulasi suara di tingkat kecamatan. Video caleg yang mengamuk viral dan berbuntut panjang.
Ada aksi demonstrasi di depan kantor Kecamatan Gunungkencana dan pelaporan terhadap anggota Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) dan Panitia Pengawas Kecamatan (Panwascam) ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Pelapor yang merupakan mantan aktivis Keluarga Mahasiswa Lebak (Kumala) menuding telah terjadi pelanggaran pidana pemilu yang terstruktur, sistematis, dan masif di Gunungkencana.
PPK dan Panwascam dituding telah bersekongkol melakukan penggelembungan suara. Modusnya, suara partai dipindahkan ke kolom caleg, sehingga berpotensi menguntungkan caleg tersebut dan merugikan caleg yang lain.
Persoalan yang terjadi di Gunungkencana tentu tidak bisa disimpulkan dilakukan semua penyelenggara pemilu. Tapi, jika terbukti benar maka kasus ini akan menjadi preseden buruk bagi demokrasi di Indonesia. Belum lagi, kasus-kasus lain terkait penyelenggara yang tersangkut narkoba, terlibat politik uang, dan menjadi tim sukses peserta pemilu. Ini tidak boleh dibiarkan. KPU dan Bawaslu harus melakukan evaluasi total terhadap semua penyelenggara pemilu di tingkat kecamatan, desa, hingga ke TPS.
Karena dalam waktu dekat, KPU dan Bawaslu serta perangkat badan adhoc di bawahnya akan kembali melaksanakan pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak 2024. Jika integritas penyelenggara pemilunya diragukan, maka penyelenggaraan pilkada serentak yang pertama kali digelar di negeri ini dikhawatirkan tidak berjalan dengan baik dan berkualitas.
Catatan lain pemilu 2024, yakni netralitas aparatur sipil negara (ASN), TNI, dan Polri. Terkait netralitas ini, sebenarnya telah mendapat sorotan di tingkat lokal maupun nasional. Oknum ASN yang tidak netral dan berpihak terhadap peserta pemilu tentu saja menimbulkan keprihatinan dan dapat menurunkan kualitas demokrasi di Indonesia.
Untuk itu, ke depan penulis berharap ASN, TNI, dan Polri profesional. Bawaslu harus bekerja ekstra untuk mengawasi dan tidak pasif dalam melakukan penindakan pidana pemilu. Bawaslu harus aktif menindak berbagai pelanggaran yang dilakukan peserta pemilu, ASN, TNI, dan Polri yang tidak netral dalam pesta demokrasi lima tahunan ini. Sehingga kualitas pemilu di Indonesia akan lebih baik dan berintegritas.
Tentu masih banyak catatan dalam penyelenggaraan pemilu 2024 yang telah dilalui. Catatan yang penulis sampaikan di atas hanya sedikit dari banyaknya persoalan yang muncul dalam demokrasi prosedural di negeri ini. Namun demikian, catatan ini diharapkan jadi bahan evaluasi bersama untuk perbaikan kualitas pemilu di masa yang akan datang.(*)
Penulis : Mastur Huda, SE (Ketua Pokja Wartawan Harian dan Elektronik Kabupaten Lebak)