Politik Uang

Mastur, SE

Politik uang atau money politik menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam proses Pemilu di Indonesia. Dalam setiap momen pemilu, politik uang selalu menghiasi pesta demokrasi lima tahunan. Mulai dari pemilihan kepala desa (pilkades), pemilihan bupati, gubernur, dan bahkan pemilihan Presiden. Tidak terkecuali pemilihan anggota DPRD kabupaten, DPRD provinsi, DPR RI, dan DPD RI.

Untuk itu, wajar jika kemudian politik uang sudah menjadi budaya di masyarakat. Karena praktik kotor dalam demokrasi tersebut sudah dilaksanakan secara turun temurun sejak puluhan tahun lalu. Sehingga mendegradasi kualitas demokrasi dan pemilu di Indonesia.

Pertanyaannya, bisakah politik uang dihilangkan? Tentu bisa, tapi sangat sulit. Karena faktanya politik uang massif terjadi di kalangan masyarakat. Untuk itu, jika ada pemimpin dan wakil rakyat berkoar tidak melakukan politik uang dalam proses kontestasi electoral maka pernyataan tersebut bisa disimpulkan hoaks atau bohong. Walaupun, ada juga yang tidak melakukan politik uang untuk mencapai kekuasaannya. Tapi, itu hanya sebagian kecil saja, karena mayoritas kontestan peserta pemilu dipastikan menggunakan uang untuk membeli suara masyarakat.

Apalagi, menurut Gubernur Lemhanas ada beberapa variabel indeks demokrasi di Indonesia yang masih lemah, di antaranya terkait dengan budaya politik. Selain politik identitas yang mewarnai dinamika politik nasional dan daerah, politik uang juga menjadi budaya yang mengerogoti konstruksi demokrasi di Indonesia.

Ini tentu harus menjadi perhatian bersama. Karena jika penanganan politik uang hanya diserahkan kepada Bawaslu maka politik uang akan sulit diberantas. Dibutuhkan sinergi dan kolaborasi antar anak bangsa untuk memberantas politik uang. Sehingga ke depan, pemilu di Indonesia bisa lebih berkualitas dan beradab.

Pemberantasan atau pencegahan politik uang bisa dilakukan mulai dari peserta pemilu. Calon kepala daerah, calon presiden, dan calon wakil rakyat bisa menjual ide dan gagasan dalam merebut suara masyarakat. Atau calon menjual rekam jejaknya, sehingga tidak ada ruang untuk melakukan politik uang atau kampanye hitam dalam mempengaruhi pemilih.

Dari sisi penyelenggara, penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku politik uang diharapkan dapat memberikan efek jera terhadap calon kepala daerah, calon presiden, dan calon wakil rakyat. Tidak hanya itu, pelibatan masyarakat dan organisasi masyarakat sipil dalam pengawasan Pemilu bisa menjadi kunci mencegah terjadinya politik uang.

Teori tersebut tentu sudah dijalankan Bawaslu sebagai lembaga yang memiliki kewenangan dalam pengawasan pemilu. Pertanyaannya kemudian, kenapa masih terjadi politik uang? Padahal para ahli bersepakat, politik uang dan kampanye hitam telah merusak nilai-nilai demokrasi yang dibangun setelah reformasi 1998.

Pada awal Reformasi 1998, Indonesia disebut oleh dunia sebagai Negara Demokrasi baru karena sukses menjalankan Pemilu 1999 dengan jujur dan adil, langsung umum dan rahasia (Jurdil dan Luber). Namun sekarang, Indonesia tengah berada pada masa transisi Negara demokrasi. Apabila budaya politik bangsa ini tidak diperbaiki, maka bukan tidak mungkin Negara ini akan memasuki rezim demokrasi dengan kualitas rendah.

Tingginya ongkos politik yang dikeluarkan para calon ketika mengikuti kontestasi akan diikuti dengan prilaku korup jika calon tersebut terpilih menjadi Bupati, Walikota, Gubernur, Presiden, dan wakil rakyat di parlemen. Karena, para pemimpin tersebut akan berupaya untuk mengembalikan terlebih dahulu modalnya saat pencalonan dengan menghalalkan berbagai macam cara. Setelah uang kembali, mereka akan mengumpulkan uang dengan menggerogoti APBD dan APBN untuk modal pencalonan di periode berikutnya.

Karena itu, kita bisa menyaksikan banyak kasus korupsi yang melibatkan pejabat Negara. Hampir setiap hari, ada wakil rakyat atau pemimpin di daerah maupun pusat yang terseret kasus hukum. Fenomena tersebut merupakan dampak dari budaya politik yang kotor. Mulai dari politik uang, kampanye hitam, dan politik identitas yang dapat membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa.

Bahkan, politik uang, kampanye hitam, dan politik identitas, akan menjadi mimpi buruk bagi masyarakat sebagai voter pada Pemilu 2024. Solusinya, cegah politik uang, kampanye hitam, dan politik identitas pada Pemilu yang akan datang. Mari kita ciptakan pemilu yang partisipatif dan berintegritas. Sehingga Pemilu 2024 dapat menghasilkan pemimpin dan wakil rakyat yang berkualitas.

Pemimpin dan Wakil Rakyat yang dapat memperjuangkan kesejahteraan masyarakat dan membawa Indonesia menjadi Negara maju, kuat, dan disegani Negara lain di dunia. Karena itu, mari kita hentikan dan cegah politik uang yang dapat merusak tatanan nilai demokrasi pada Pemilu Serentak 2024 yang akan datang.

Penulis : Mastur/Presidium KAHMI Lebak dan Ketua Pokja Wartawan Lebak

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *